Jakarta, 6 September 2024: Green Investment Principles (GIP) ASEAN Chapter telah sukses
melaksanakan dialog tingkat tinggi tentang Pembiayaan Hijau atau Green Financing pada hari
kedua Indonesia International Sustainability Forum (ISF) 2024, di Jakarta pada Jumat siang (7/9).
Dengan mengusung tema Pembiayaan Hijau yang Inklusif untuk Pembangunan Berkelanjutan,
acara ini menjadi katalis dalam mencari sumber pendanaan iklim, memetakan tantangan dan
peluang, dan mencari rekomendasi aksi yang efektif dalam implementasi transisi energi di
Indonesia dan kawasan.
Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim namun
juga menjadi penyumbang signifikan terhadap masalah tersebut. Industrialisasi yang cepat di
negara-negara ASEAN telah menyebabkan konsumsi energi yang besar, yang sebagian besar
bersumber dari bahan bakar fosil.
Chair GIP ASEAN Chapter, Mari Elka Pangestu, menjelaskan pembiayaan hijau di ASEAN tidak
bisa diremehkan. Pasalnya, Asia menyumbang 56 persen emisi CO2 global, dan enam negara
penghasil emisi utama di Asia menyumbang 95 persen konsumsi batu bara di Asia, termasuk
Indonesia, Vietnam, dan Filipina.
“Diperkirakan diperlukan investasi modal sekitar US$9 triliun di sektor energi hingga tahun 2040
bagi negara-negara ini untuk memenuhi target NDC dan kebijakan mereka. Tambahan US$4
triliun diperlukan untuk mempercepat dekarbonisasi.” jelas Mari Pangestu dalam pidatonya (7/9).
Kesenjangan ini adalah area di mana pembiayaan hijau sangat penting dalam menjembatani
investasi dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan finansial ini tidak hanya
membantu dalam memerangi perubahan iklim, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi
dengan menciptakan pasar dan teknologi baru.
Mantan Menteri Perdagangan sekaligus Board of Trustees CSIS Foundation ini menjelaskan,
sejumlah tantangan dalam memajukan pembiayaan hijau diantaranya hambatan ekonomi dan
finansial, seperti kapasitas fiskal yang terbatas, prioritas anggaran pada subsidi bahan bakar fosil,
peringkat kredit yang rendah, dan tingginya biaya modal.
“Para pemangku kepentingan juga menghadapi hambatan teknis dan berbasis pengetahuan, seperti
kurangnya regulasi yang mendukung, kekurangan kapasitas yang relevan, serta data yang tidak
memadai dan ketiadaan standar untuk pembiayaan hijau. Mengatasi hambatan-hambatan ini
memerlukan upaya bersama dari semua pemangku kepentingan yang terlibat.” jelas Mari
Pangestu.
Dalam diskusi ini, para pembicara yang hadir diantaranya Mari Elka Pangestu, Chair Green
Investment Principles ASEAN Chapter,Rachmat Kaimuddin - Deputi Infrastruktur dan
Transportasi, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi , Bill Winters - Chief
Executive (CEO) Standard Chartered Bank Guillame de Gantes - Senior Partner, McKinsey &
Company, Henry Rialdi – Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Keuangan
Terintegrasi, OJK, Shinta W. Kamdani, Wakil Ketua Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan
Hubungan Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia), dan hadir secara
daring Ma Jun, Chairman, China Green Finance Committee and GIP Co-chair. Turut hadir sebagai
moderator dalam diskusi ini Rino Donosepoetro, Co-chair of Green Investment Principles ASEAN
Chapter, dan Yose Rizal Damuri, Executive Director CSIS Indonesia. Sejumlah peserta yang hadir
terdiri dari para pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, institusi finansial, dan swasta.
*******
Poin Utama Pembicara:
Mari Elka Pangestu - Chair Green Investment Principles ASEAN Chapter
Para investor dan pemangku kepentingan semakin fokus pada strategi untuk mengatasi krisis iklim.
Tujuan utamanya adalah menghadapi tantangan dan meraih peluang dalam memajukan
pembiayaan hijau, sambil mendorong kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta.
- ASEAN memainkan peran penting dalam transisi energi dan dekarbonisasi, menyumbang
70% konsumsi dan produksi batu bara global. Kawasan ini menghadapi kesenjangan
pembiayaan hijau yang signifikan, diperkirakan sebesar USD 4 triliun. Untuk memfasilitasi
transisi energi, 34% dari dana yang diperlukan harus berasal dari anggaran pemerintah,
dengan sisanya bersumber dari investasi swasta.
- Mengatasi subsidi bahan bakar dan batu bara adalah masalah yang sensitif secara politik,
namun perlu dihadapi. Diperlukan kebijakan yang lebih terarah untuk mengelola subsidi
ini secara efektif.
- Green Investment Principles (GIP), yang diprakarsai oleh kelompok kerja keuangan
berkelanjutan G20 dan dipimpin oleh Dr. Ma Jun, bertujuan untuk menegakkan prinsip-
prinsip yang telah ditetapkan oleh G20.
- Sebagai penutup, penting untuk menangani masalah warisan guna menghindari transisi
energi yang lambat. Belajar dari pengalaman global dapat memberikan wawasan berharga
untuk membentuk kerangka regulasi di Indonesia.
Bill Winters - Chief Executive (CEO) Standard Chartered Bank
- Meskipun dana tersedia, terdapat kekurangan proyek hijau untuk memanfaatkan modal ini
secara efektif. Untuk mengatasi ini, diperlukan investasi besar dalam teknologi dan sumber
energi baru.
- Agar dana dapat terserap dengan efektif, penting untuk mengarahkan investasi pada proyek
yang tepat. Kerangka hukum yang mendukung sangat diperlukan, meskipun mungkin
membutuhkan waktu untuk dikembangkan. Kerangka ini harus selaras dengan kebutuhan
pasar global sambil mengakomodasi regulasi lokal.
- Saat ini, belum ada harga karbon global yang diakui, yang memperumit pasar karbon
global. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan katalis untuk menguji dan
mengintegrasikan solusi inovatif ke dalam sistem keuangan dan industri, mendorong
eksplorasi di area baru.
Guillame de Gantes - Senior Partner, McKinsey & Company
- 75 persen investasi dalam proyek hijau berasal dari sektor swasta, menunjukkan sulitnya
menghubungkan sektor keuangan dengan ekonomi riil. Proyek hijau secara inheren lebih
berisiko dibandingkan proyek tradisional karena ketidakpastian dalam teknologi dan arus
kas.
- Umpan balik dari klien di seluruh ASEAN menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan
dalam harmonisasi taksonomi, keandalan data masih bermasalah. Data berkualitas rendah
dan masalah tak terduga telah menyebabkan komitmen yang tidak jelas.
- Kemajuan terbaru dalam pengujian risiko iklim memberikan dasar yang kuat untuk uji
stres. Namun, pengurangan risiko tetap menantang, terutama dalam mempertahankan arus
kas dan mengelola risiko mata uang. Misalnya, AS dan Brasil menggunakan pertukaran
mata uang untuk mengurangi risiko ini, sebuah strategi yang mungkin dipertimbangkan
oleh Indonesia untuk investasi pembiayaan hijau jangka panjangnya.
- Usaha kecil dan menengah (UKM) menghadapi risiko lebih tinggi dengan proyek hijau,
sehingga diperlukan koordinasi industri yang lebih besar untuk mendukung upaya ini.
Henry Rialdi – Kepala Departemen Surveillance dan Kebijakan Sektor Keuangan
Terintegrasi, OJK
- Sejak 2015, upaya signifikan telah dilakukan dalam keberlanjutan, termasuk
pengembangan pedoman untuk bisnis dan sektor keuangan. Regulasi telah diterbitkan
terkait laporan keberlanjutan, obligasi hijau, dan taksonomi emisi.
- Versi pertama taksonomi mencakup beberapa sektor dan sejak itu telah disesuaikan untuk
lebih selaras dengan target pemerintah, membedakan sektor berdasarkan Kontribusi yang
Ditentukan Secara Nasional (NDC) serta memasukkan pertimbangan untuk berbagai
ukuran perusahaan (UMKM dan perusahaan besar).
- Sebelum pasar karbon terbentuk, regulasi obligasi hijau direvisi untuk menekankan
keberlanjutan, tidak hanya berfokus pada "hijau." Prinsip sosial juga telah diintegrasikan
ke dalam regulasi ESG, memperluas fokus di luar isu lingkungan.
- Taksonomi ini bertujuan agar dapat diterapkan di Indonesia sambil tetap interoperabel
dengan kerangka internasional. Namun, ada tantangan karena pengaruh kuat paradigma
ESG Barat dan skeptisisme tentang kredibilitas di Indonesia.
- Sektor keuangan belum sepenuhnya menyatu dengan sektor riil dalam ekosistem
keberlanjutan. Memasuki ruang keberlanjutan memerlukan biaya yang lebih tinggi, dan
menciptakan insentif yang efektif di dalam sektor keuangan masih menjadi tantangan.
Shinta W. Kamdani - Wakil Ketua Koordinator Bidang Maritim, Investasi, dan Hubungan
Luar Negeri Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia)
- Kesadaran dan Pengetahuan: Menurut survei APINDO terhadap 2.000 perusahaan, hanya
36% yang menyadari prinsip-prinsip ESG, dan pembiayaan hijau masih merupakan konsep
yang relatif tidak dikenal. Selain itu, 16% perusahaan belum menghasilkan laporan
keberlanjutan, menunjukkan kesenjangan pemahaman yang signifikan mengenai
pembiayaan hijau.
- Pendorong Pasar: Meskipun investor tertarik pada proyek hijau, pilihan yang tersedia
masih terbatas. Biaya adaptasi praktik bisnis agar sesuai dengan prinsip ESG melibatkan
penyesuaian dalam pembiayaan, budaya kerja, dan lainnya.
- Insentif dan Pembiayaan: Insentif pasar dan disinsentif untuk pembiayaan hijau masih
belum memadai. Pembiayaan tetap terbatas, dan tidak ada insentif signifikan untuk
menutupi biaya terkait. Meskipun pembiayaan campuran (blended finance) menawarkan
solusi yang menjanjikan, penerapannya cukup rumit.
- Pasar Karbon dan Taksonomi: Taksonomi OJK untuk keuangan berkelanjutan membuka
peluang pembiayaan hijau di lima sektor. Namun, masih ada kesenjangan dalam kebijakan
dan penyederhanaan regulasi yang perlu diatasi. Koordinasi antara sektor publik dan
swasta sangat penting untuk menjembatani kesenjangan ini dan menyelaraskan kebijakan
fiskal dengan tujuan energi dan lingkungan.
- Kesenjangan investasi: Kesenjangan investasi tetap menjadi tantangan signifikan, terutama
di negara-negara berkembang. Untuk mengatasinya, penting untuk mendorong kolaborasi
di antara para pemangku kepentingan dan meningkatkan komitmen untuk mengidentifikasi
peluang investasi berkelanjutan. Selain itu, meningkatkan praktik pelaporan ESG sangat
penting untuk memajukan upaya ini.
Tentang Green Investment Principles (GIP) Southeast Asia Chapter:
The Green Investment Principles (GIP) didirikan pada tahun 2018 untuk meningkatkan kesadaran
tentang prinsip-prinsip hijau dalam pembiayaan proyek pembangunan. Dengan sekretariat utama
di Beijing, serta cabang regional di Afrika dan Asia Tengah, sektor perbankan dan keuangan dari
berbagai wilayah berkumpul untuk terlibat dalam dialog dan kerja sama mengenai keuangan hijau.
Dengan tantangan yang dihadapi Asia Tenggara dalam membiayai solusi iklim, GIP ASEAN
Chapter berperan sebagai pemicu untuk melibatkan sektor keuangan dan perbankan di kawasan
ini dalam menghadapi tantangan tersebut. Sekretariat GIP berada di bawah CSIS Indonesia,
dimana acara peluncuran GIP ASEAN Chapter dilakukan di Auditorium CSIS, Jakarta, pada
Desember 2023 lalu.
Tentang CSIS Indonesia:
Didirikan pada tahun 1971, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) telah
mendapatkan pengakuan sebagai lembaga penelitian dan kebijakan yang penting baik di dalam
negeri Indonesia maupun di tingkat internasional. Selama lebih dari lima dekade, evolusi CSIS
telah erat kaitannya dengan sejarah Indonesia, yang berakar pada pemahaman mendalam tentang
isu-isu ekonomi, politik, dan sosial, termasuk perkembangan regional dan internasional.
Saat ini CSIS memiliki tiga departemen dan dua unit riset. Ketiga departemen tersebut adalah
Departemen Politik dan Perubahan Sosial, Departemen Hubungan Internasional, serta Departemen
Ekonomi. Adapun dua unit risetnya meliputi Unit Kebijakan Iklim dan Unit Manajemen Bencana.
Kontak:
GREEN INVESTMENT PRINCIPLES (GIP) SOUTHEAST ASIA CHAPTER
Pakarti Centre Building, Jl. Tanah Abang 3 No. 23-27, Jakarta 10160, Indonesia
Telephone : +62 21 386 5532
Email : gip.asean@csis.or.id
Website : gipbr.net
CENTRE FOR STRATEGIC AND INTERNATIONAL STUDIES (CSIS)
Pakarti Centre Building, Jl. Tanah Abang 3 No. 23-27, Jakarta 10160, Indonesia
Telephone : +62 21 386 5532
Email : csis@csis.or.id
Website : csis.or.id