Perekonomian global tahun 2025 diawali dengan optimisme yang cukup baik dengan momentum kondisi makroekonomi yang cendurung positif dengan tingkat inflasi yang terkendali. Namun demikian, eskalasi perang dagang yang memuncak pada bulan April membuat organisasi-organisasi internasional seperti IMF (2025) menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global hingga 0,5%. Paket tarif baru atau yang disebut Reciprocal Tariff yang dikenakan oleh Amerika Serikat secara unilateral kepada seluruh negara di dunia menimbulkan ketidakpastian dari sisi perdagangan dan rantai nilai global. Pudarnya optimisme pertumbuhan ekonomi global ini didorong oleh potensi dampak turunannya terhadap kondisi makroekonomi baik domestik di Amerika Serikat dan global serta kepada negara-negara lain khususnya negara berkembang yang bergantung kepada pasar Amerika Serikat. 

Menghadapi tahun-tahun krusial dalam memperingati sepuluh tahun Perjanjian Paris, negara-negara harus memperkuat komitmen dalam mengatasi krisis iklim. Padahal indikator-indikator utama perubahan iklim—seperti konsentrasi gas rumah kaca, suhu global, dan pemanasan laut—kembali mencetak rekor tertinggi pada tahun 2024 yang dipicu oleh El Niño. Tahun 2025 juga merupakan tahun yang krusial bagi Indonesia karena terkait dengan penyampaian NDC terbaru. 

Dari sisi domestik, Indonesia masih memiliki modal yang cukup untuk dapat tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi global. Permintaan domestik yang terjaga masih menjadi motor utama bagi perekonomian Indonesia. Inflasi yang terkendali. Namun demikian, hal ini tidak cukup untuk mencapai aspirasi pertumbuhan ekonomi 8% di tahun 2029. Indonesia harus dapat mengakselerasi motor pertumbuhan ekonomi yaitu investasi dan perdagangan internasional. Laporan UNCTAD (2024) menggarisbawahi potensi perdagangan Selatan-Selatan yang meningkat lebih dari 2 kali lipat dari tahun 2007 hingga 2023.