Pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 masih terbatas dan dibayangi tekanan inflasi, faktor geopolitik, dan ancaman perubahan iklim. Persaingan strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok, konflik Rusia-Ukraina dan Timur Tengah, serta ketegangan di Laut Cina Selatan masih akan menjadi sumber ketidakpastian dalam beberapa tahun kedepan. Namun demikian, beberapa lembaga internasional masih optimis dan meramalkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diatas pertumbuhan dunia. Adapun beberapa faktor yang perlu diperhatikan adalah tekanan eksternal akibat suku bunga dunia yang tinggi, perlambatan ekonomi Tiongkok serta disiplin fiskal pemerintah. Untuk memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, diperlukan reformasi ekonomi termasuk penyesuaian subsidi dalam mendorong transisi energi.
Baik tren perdagangan maupun investasi global di tahun 2023 tercatat melambat. Keberhasilan dalam mengelola risiko geopolitik menjadi kunci untuk bisa mendapatkan keuntungan dari tren derisking atau rerouting rantai nilai global. Indonesia belum dapat memanfaatkan hal ini. Namun demikian, Indonesia memiliki potensi untuk mendorong agenda reformasi ekonomi melalui optimalisasi kerja sama ekonomi internasional, termasuk aspirasi menjadi anggota OECD dalam tiga tahun kedepan.
Penanaman modal asing global yang cenderung menurun di tahun 2023 memperlihatkan kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang. Dengan kata lain, tensi geopolitik menempatkan negara-negara berkembang dalam posisi yang sulit dalam mendapatkan investasi luar negeri, untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Indonesia masih menjadi salah satu tujuan utama investasi di ASEAN. Optimalisasi potensi investasi, misalnya dalam bidang transisi energi di Indonesia, perlu dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan hilirisasi yang lebih berkelanjutan, serta menekankan pada pentingnya diversifikasi.
Perdagangan berkelanjutan memiliki potensi sebagai pengungkit perdagangan global dan Indonesia. Pertumbuhan perdagangan dan investasi berkelanjutan lebih tinggi dibandingkan dengan perdagangan dan investasi secara umum. Untuk itu, perlu inisiatif global dan kerja sama internasional yang lebih kuat dalam menurunkan hambatan perdagangan seperti tarif di negara berkembang dan non-tarif di negara maju. Di sisi lain, kompetisi strategis masih akan menjadi sumber ketidakpastian dan merugikan ekonomi global karena memperlambat upaya dekarbonisasi ekonomi dengan kebijakankebijakan unilateral.
Indonesia memerlukan kebijakan perdagangan yang lebih fasilitatif untuk meningkatkan daya saing dalam perdagangan berkelanjutan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Indonesia masih tertinggal Sementara itu, tren peningkatan investasi berkelanjutan namun ketimpangan pembiayaan antara negara maju dan berkembang masih terjadi. Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan pasar obligasi ramah lingkungan. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai green bonds secara signifikan, dibandingkan dengan tahun 2019.
Sebenarnya, Indonesia telah memiliki beberapa kebijakan untuk mendukung perdagangan dan investasi berkelanjutan. Misalnya, taksonomi hijau yang sudah diinisiasi sejak tahun 2022 serta kebijakan carbon pricing. Beberapa catatan misalnya pembaruan taksonomi hijau menjadi Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI). Tantangan dalam pasar karbon diantaranya adalah partisipasi rendah dari pasar sehingga menurunkan permintaan kredit karbon. Harga karbon yang lebih tinggi penting untuk mendorong adopsi teknologi rendah karbon, serta mendorong bisnis untuk mencari cara yang lebih efisien dalam mengurangi emisi dan mendorong pengembangan teknologi yang lebih bersih. Selain itu, Indonesia juga perlu mengevaluasi kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Penelitian-penelitian menunjukan bahwa kebijakan ini akan memunculkan biaya tinggi apabila tidak sesuai. Terakhir, kerja sama ekonomi internasional, sebagai katalis dan akselerator dekarbonisasi ekonomi untuk memberikan tekanan eksternal, dapat secara signifikan mempengaruhi ketegasan langkah-langkah Indonesia dalam memenuhi komitmen iklimnya.
Kebijakan mineral kritis harus lebih strategis dengan pertimbangan lintas-disiplin serta pendekatan rantai nilai global. Dengan kata lain, instrumen kebijakan yang diberlakukan pada satu mineral kritis belum tentu akan memberikan dampak maksimal jangka panjang yang sama, apabila diterapkan pada mineral kritis lainnya. Hal ini mengingat posisi produksi, cadangan relatif, dan praktik berkelanjutan Indonesia dibandingkan negara pemilik mineral lainnya.
Diversifikasi mitra investasi di mineral kritis menjadi kebutuhan tidak hanya untuk memperkaya referensi praktik berkelanjutan, tetapi juga mempertahankan akses pasar dan daya saing produk akhir teknologi berkelanjutan Indonesia, di tengah situasi geopolitik saat ini. Kebutuhan untuk melakukan diversifikasi tersebut tentu mensyaratkan penyelesaian tumpang tindih kewenangan antar K/L, pusat-daerah, dan antara pemerintah dengan aktor non-pemerintah lain. Diversifikasi tersebut juga mensyaratkan kapasitas dan komitmen penegakkan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola yang tinggi di seluruh tahapan rantai nilai.
Mempertimbangkan bahwa dorongan eksternal dibutuhkan untuk mendorong praktikpraktik berkelanjutan perusahaan-perusahaan di tanah air, oleh karenanya, Indonesia harus lebih aktif untuk dapat bergabung dalam berbagai inisiatif yang memegang norma rantai nilai mineral berkelanjutan dan mempromosikan melalui instrumen kebijakan luar negeri dimiliki.