Secara mendasar dua anotasi penting telah mendeskripsikan kemunduran negara hukum. Pertama, analisis Todung Mulya Lubis dalam Senja Kala Negara Hukum menunjukan adanya kerusakan hukum dalam lima tahun terakhir.1 Kemunduran terjadi pada elemen pokok seperti; independensi pengadilan, due process of law, keadilan untuk semua, akses terhadap bantuan hukum, dan ketiadaan produk hukum yang fair dan adil.

Di samping itu, terdapat dua intisari yang perlu mendapatkan perhatian serius masyarakat sipil. Pertama, masyarakat sipil terjebak ke dalam kondisi merasa puas dan tidak awas pada politisi nir-etika yang berjubah demokrasi yang merasuk ke dalam sistem politik dan pemilu, lalu menguasai pranata politik, dan menggunakan pranata hukum untuk mendapatkan keabsahan hukum. Kedua, tiga lembaga negara yang merupakan representasi spirit negara hukum Indonesia yakni; Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA) telah mengalami stagnasi. Dalam konteks ini, KPK kehilangan roh pemberantasan korupsi akibat Revisi Undang-Undang (UU) KPK, lalu komisioner yang integritasnya diragukan, serta penggembosan kapasitas kelembagaan.

Bagaimana dengan MK dan MA? Meskipun sebagai cabang kekuasaan yang independen, namun kedua lembaga tersebut goyah berhadapan dengan instrusi kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Dalam latar demikian, MK dan MA telah bersalin menjadi positive legislator yang merisaukan penafsiran hukum, sehingga melahirkan putusan yang dibayang-bayangi kerangka nepotisme.

Kedua, ulasan yang disajikan oleh Sukidi di dalam Hukum Sebagai Senjata Politik, memberikan gambaran dua praktik hukum yang berdampak matinya demokrasi.2 Pertama adalah constitutional hardball yang merupakan pola perilaku aktor politik yang memanfaatkan sisi teknis legal dan bertujuan untuk mengeksploitasi batasan konstitusional, serta mendayagunakan ambiguitas dan fleksibilitas aturan guna mendapatkan keuntungan politis.3 Selanjutnya, melalui gagasan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, menggarisbawahi bahwa seorang pemimpin yang populis-otoritarian, hukum adalah senjata politik untuk merusak demokrasi.4

Berdasarkan catatan krusial tersebut, analisis ini mengangkat dua pesan kunci untuk merevitalisasi negara hukum sebagaimana kehenda pembentuk UUD 1945 yang juga merupakan refleksi constituent power, yang diartikan ekspresi aspirasi rakyat sebagai legitimasi yang tidak bisa dibakukan secara ketat sebagaimana ciri khas totalitarianisme. Maka, ia selalu menjadi kemungkinan-kemungkinan yang terbuka sebagai bentuk representasi semua orang dan kalangan dengan segala kepentingannya.5