JAKARTA, 28 Agustus 2023 – Pada 22-24 Agustus 2023, BRICS – kelompok minilateral yang beranggotakan Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan – mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi di Afrika Selatan yang menghasilkan beberapa kesepakatan yang tertuang dalam Deklarasi Johannesburg II. Salah satu kesepakatan KTT tersebut adalah perluasan keanggotaan melalui undangan kepada Saudi Arabia, Iran, Ethiopia, Mesir, Argentina, dan Uni Emirat Arab. Hasil dari KTT tersebut menarik untuk dibahas karena meningkatnya persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok, serta adanya wacana Indonesia untuk bergabung dengan BRICS.
Bapak Dandy Rafitrandi, Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, menyatakan BRICS merupakan mitra strategis dari sisi perdagangan internasional. Meskipun begitu, purl diperhatikan bahwa BRICS memiliki orientasi kebijakan ekonomi yang berbeda dengan menekankan pada peranan pemerintah seperti subsidi, restriksi perdagangan, dan peran BUMN. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah nilai tambah yang diharapkan dari BRICS. Indonesia belum memiliki motif yang cukup jelas, mulai dari kemungkinan akses pasar, akses investasi/pendanaan, atau akses teknologi.
Indonesia mungkin tertarik untuk mendapatkan dukungan pendanaan dari New Development Bank (NDB), misalnya untuk transisi energi dan pendanaan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Namun demikian, Indonesia perlu mencermati bagaimana operasionalisasi pendanaan ini karena NDB juga menekankan pada tidak adanya conditionality serta mengedepankan penggunaan mata uang lokal. Tidak hanya itu, Tiongkok sebagai penggerak utama juga memiliki AIIB dan Global Development Initiative.
Indonesia memerlukan perhitungan yang cermat dalam melihat potensi dan tantangan apabila ingin menjadi anggota BRICS dalam waktu dekat. Indonesia sebenarnya sudah memiliki wadah kerja sama ekonomi dengan negara-negara BRICS, seperti RCEP dan ASEAN-China FTA. Anggota BRICS juga merupakan anggota G20 dan mitra ASEAN. Terlepas apakah Indonesia akan menjadi anggota BRICS atau tidak, belum terlihat manfaat ekonomi yang nyata bagi Indonesia dalam jangka pendek.
Dr. Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif CSIS, menyatakan bahwa BRICS tahun ini mendapatkan perhatian yang cukup besar seiring dengan peningkatan peran negara-negara BRICS dalam perekonomian dunia. Akan tetapi, jika Indonesia ingin bergabung dengan BRICS, maka pertimbangannya tidak hanya bisa didasarkan pada pertimbangan ekonomi karena performa ekonomi negara-negara BRICS belum cukup baik.
Dari seluruh negara BRICS, hanya Tiongkok dan india yang memiliki pertumbuhan PDB yang baik. Lebih lanjut lagi, Brazil dan Afrika Selatan juga memiliki pertumbuhan PDB per kapita yang cenderung negatif. Dari sisi keuangan (devisa), negara-negara BRICS juga mengalami penurunan devisa bahkan beberapa negara seperti Brasil dan Rusia memiliki kondisi makroekonomi yang kurang kuat. Penggunaan mata uang lokal, yang menjadi aspirasi BRICS, juga perlu menjadi perhatian mengingat perlu ada negara yang menanggung biayanya. Sementara dari aspek perdagangan, perdagangan intra-BRICS juga masih terbatas dan berpusat pada Tiongkok.
Secara perekonomian, BRICS sangat bergantung pada peran Tiongkok dan India, dimana keduanya sudah menjadi mitra strategis yang substansial bagi ASEAN. Persaingan geopolitik antara Tiongkok dan India juga berpotensi menjadi masalah. Salah satu indikasinya adalah pernyataan dimana India tidak menginginkan BRICS menjadi mouthpiece dari Tiongkok.
Salah satu inisiatif yang dapat diapresiasi adalah New Development Bank (NDB) yang telah menyalurkan 32 milyar USD selama delapan tahun ke belakang. Kontribusi ini memang masih kecil, tetapi dapat berpotensi untuk berkembang dengan anggota baru yang memiliki kemampuan pendanaan seperti Uni Emirat Arab dan Saudi Arabia. NDB juga sudah pernah memberikan pendanaan kepada negara-negara di luar BRICS. Kehadiran NDB juga dapat mendorong reformasi dalam MDB lainnya karena pendekatannya pada proyek-proyek yang bersifat sustainable. Akan tetapi, diperlukan tata kelola yang lebih baik bagi NDB untuk kedepannya.
Bapak Andrew Wiguna Mantong, Peneliti Departemen Hubungan Internasional CSIS, menyatakan bahwa BRICS sejauh ini memang dipersatukan dengan komitmen mengatasi tatanan dunia internasional yang kurang adil karena bias kepentingan- negara-negara Barat. Meskipun demikian, komitmen ini harus diukur dengan kinerja BRICS sejauh ini. New Development Bank (NDB) sebagai salah satu kesepakatan BRICS masih dibayangi dengan keterbatasan menghimpun sumber daya finansial jika ingin menandingi institusi bentukan Sistem Bretton Woods.
Aspirasi Indonesia sebagai middle power, atau kekuatan menengah, sebenarnya cukup berlawanan dengan aspirasi BRICS. Koalisi kekuatan menengah tidak pernah menantang tatanan dunia, namun cenderung berusaha memperbaiki system di level operasional sesuai dengan koridor aturan yang berlaku. Hal ini berbeda dengan BRICS yang bertujuan untuk mengganti tatanan internasional yang secara konkret.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah berusaha untuk menggalang solidaritas Global South. Namun demikian, Indonesia seharusnya menetapkan kepentingan, idealisme, dan strategi yang tepat agar tidak terjebak dalam kontradiksi antarforum yang ada. Pertanyaan mengenai relevansi BRICS juga serupa dengan pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh Indonesia sudah berperan di ASEAN, MIKTA, atau G20 untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut yang mungkin belum harmonis satu sama lain.