Subsidi energi di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Subsidi energi, terutama untuk Pertalite, Solar dan LPG 3 Kg, awalnya bertujuan untuk menjaga harga energi yang stabil dan terjangkau, terutama mereka yang tidak mampu. Namun, struktur dan besaran subsidi energi ini telah menghadirkan berbagai masalah dan tantangan. Pertama, alokasi energi subsidi yang besar telah menancam stabilitas fiskal dan prospek pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kedua, besarnya subsidi  energi  juga  menggangu  efisiensi ekonomi dan sustainabilitas lingkungan. Ketiga, subsidi energi juga dianggap gagal mencapai tujuan keadilan sosial secara efektif dan malah memperparah kesenjangan sosial. Berbagai permasalahan subsidi energi di atas mendorong perlunya adanya evaluasi kritis terhadap besaran dan pengelolaannya.

Saat ini, Indonesia adalah negara net importir minyak dengan kebutuhan impor sebesar 1,6 juta barrel/hari pada 2023, kontras dengan kondisi pada 2000 saat Indonesia masih menjadi net eksportir dengan surplus sebesar 344 ribu barrel/hari. Selain karena besarnya konsumsi yang tinggi, pengaruh terhadap subsidi energi Indonesia juga datang dari faktor eksternal, terutama dari perubahan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Semakin terdepresiasinya rupiah, semakin tinggi harga minyak, dan semakin tinggi pula subsidi yang digelontorkan pemerintah. Dalam merespons hal ini, pemerintahan semasa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) melakukan penyesuaian harga eceran BBM sebesar 30%. Akan tetapi, rezim selanjutnya (SBY-Boediono) kurang berani untuk melakukan penyesuaian harga dengan alasan politik dan keamanan. Selanjutnya, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-JK turut melakukan reformasi pada awal pemerintahannya, dan penyesuaian harga terus dilakukan sampai pemerintahan Jokowi-Ma’aruf Amin.

Di samping subsidi, dana kompensasi juga turut meningkat. Peningkatan keduanya semakin membuat beban fiskal membengkak, mengganggu kesehatan keuangan negara, dan cenderung tidak adil. Implikasi dari membesarnya beban fiskal adalah peningkatan defisit anggaran yang berujung pada penambahan utang, sedangkan permasalahan pada keadilan muncul dari pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran, terutama inclusion error untuk kelas konsumsi teratas baik untuk komoditas LPG, Solar, dan Pertalite yang memperparah ketimpangan.

Maka, Studi ini bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan. Pertama, berapa besar besaran perkiraan konsumsi energi (Pertalite, Solar, dan LPG 3 Kg) dan subsidinya tanpa ada perubahan dalam skema subsidi saat ini dan bagaimana dampaknya terhadap kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta dampak sosial, ekonomi, lingkungan masyarakat? Kedua, berdasarkan beberapa skenario pengurangan subsidi, bagaimana dampak dari pengurangan subsidi energi terhadap inflasi, pertumbuhan ekonomi dan lapangan pekerjaan? Ketiga, bagaimana alternatif-altenatif strategi reformsi subsidi energi dijalankan agar dapat menyeimbangkan kebutuhan akan keberlanjutan fiskal dan stabilitas sosial? Dan bagaimana hasil sebaiknya realokasi anggaran yang dapat digunakan dari pengurangan subsidi energi?

Untuk mengestimasi dampak fiskal, lingkungan, dan sosioekonomi dari skema reformasi subsidi energi, studi ini menggunakan metode campuran (kuantitatif dan kualitatif). Dari pendekatan kuantitatif, penelitian ini menggunakan Least Absolute Shrinkage and Selection Operator (LASSO), analisis input-output (I-O), dan Commitment to Equity (CEQ). Kemudian, focus group discussion juga dilakukan untuk menyamakan asumsi yang digunakan dan menggali masukan dari para pakar. Skenario reformasi subsidi energi ini sendiri meliputi 1) business-as-usual, 2) dynamic pricing, 3) increasing administered price, 4) pembatasan kuota berdasarkan CC kendaraan, dan 5) pembatasan kuota berdasarkan CC kendaraan dan penghapusan subsidi Pertalite untuk mobil.