Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang paling rentan terhadap risiko dari beragam bencana. Berlokasi di lintasan cincin api Pasifik yang aktif secara seismik, negara ini sering kali mengalami beragam bencana seperti gempa bumi, erupsi gunung api, dan tsunami. Indonesia juga rentan terhadap bencana-bencana lainnya, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan. Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), misalnya, menunjukkan bahwa frekuensi berbagai bencana alam di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dari sekitar 1.600 kejadian bencana tahunan pada tahun 2011 naik menjadi sekitar 3.500 kejadian pada tahun 2018. Sejumlah studi bahkan menunjukkan bahwa frekuensi dan daya hancur dari bencana alam bahkan dapat diperburuk oleh krisis iklim mendatang.

Bencana alam tersebut dapat dan telah mengakibatkan dampak yang sangat buruk bagi perekonomian Indonesia. Tiga bencana alam berskala besar yang terjadi di Lombok, Palu, dan Selat Sunda pada 2018, misalnya, telah mengakibatkan 5.846 korban jiwa dan kerugian ekonomi sebesar Rp38 triliun (USD2,7 miliar) atau lebih dari satu persen dari total pengeluaran negara di tahun 2018. Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) melaporkan bahwa pemerintah Indonesia telah membelanjakan USD300-USD500 juta per tahun untuk rekonstruksi pascabencana. Biaya yang dikeluarkan selama tahun bencana berskala besar mencapai 0,3% dari total PDB Indonesia dan sebesar 45% dari PDRB. Sementara itu, Dartanto menunjukkan bahwa tiap rumah tangga merugi sebesar Rp21,9 juta akibat bencana alam, dan sektor pertanian paling rentan terdampak oleh bencana alam, terutama dari bencana kekeringan dan kebanjiran.

Tingginya frekuensi kejadian bencana alam dan besarnya dampak ekonomi—yang ditimbulkannya—menuntut kesiapan dan kesigapan respons dari Indonesia untuk menghadapi risiko bencana. Namun sayangnya, Indonesia, khususnya pemerintah pusat dan daerah, tampaknya masih belum mampu untuk memenuhi peningkatan permintaan terhadap sumber daya dan pelayanan yang dibutuhkan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, mitigasi, dan respons pemulihan bencana. Hal tersebut, salah satunya, diakibatkan oleh masih terbatasnya anggaran belanja pemerintah dan sumber-sumber pembiayaan lain yang dapat dipakai untuk membiayai aktivitas-aktivitas manajemen risiko bencana. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan upaya untuk membangun sistem pembiayaan dan asuransi risiko bencana di Indonesia, yang dapat memenuhi kebutuhan dana dan sumber daya terkait manajemen risiko bencana di tanah air. Secara khusus, tulisan ini akan menawarkan konsep pengembangan sebuah sistem pembiayaan dan asuransi bencana Indonesia, termasuk rancangan asuransi bencana untuk rumah tinggal.

Empat Cara Pembiayaan Bencana: Siapa yang Membayar dan Menanggung?

Di atas telah dijelaskan bahwa terjadinya bencana alam telah menghadirkan dampak, langsung ataupun tidak, bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia, termasuk kematian serta kerusakan infrastruktur dan properti. Ketika bencana terjadi, pemulihan kehidupan dan pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial memerlukan sumber daya yang besar dan oleh karenanya membutuhkan dana yang besar juga. Sebagaimana dikemukakan oleh Schlegelmiclch, pembiayaan penanggulangan dan pemulihan bencana tersebut dapat dilakukan melalui atau ditanggung oleh empat cara, yaitu: (1) pendapatan pajak atau anggaran belanja negara; (2) mekanisme pasar swasta; (3) sumbangan atau donasi; serta (4) absorpsi ekonomi.

Di Indonesia, selama ini, pembiayaan penanggulangan dan pemulihan bencana sebagian besar ditanggung oleh pajak masyarakat atau anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (2018), setiap tahunnya pemerintah menganggarkan rata-rata sebesar Rp3,1 triliun untuk dana kontingensi selama periode 2005-2017. Namun sayangnya, dana tersebut masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penanggulangan bencana, yang rata-rata per tahunnya mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar Rp22,8 triliun. Akibatnya, tiap tahunnya, terdapat kesenjangan pembiayaan yang sangat besar, yaitu Rp19,75 triliun atau 78%.

Selain gap pembiayaan yang besar, terdapat juga masalah mekanisme pembiayaan penanggulangan bencana saat ini—yang masih tidak fleksibel dan memakan waktu yang panjang. Penggunaan dana kontingensi bencana terbatas oleh ketentuan dan aturan-aturan yang kaku dan sering kali membutuhkan persetujuan dari parlemen. Sumber pendanaan untuk masa tanggap darurat setelah terjadinya bencana, tergantung dari apakah sebuah kejadian bencana tersebut diputuskan sebagai sebuah bencana nasional yang dianggap secara nasional sangat signifikan. Sementara itu, terbatasnya anggaran kontingensi memerlukan adanya perubahan dan realokasi anggaran belanja pemerintah pusat ataupun daerah, dan ini butuh waktu dan persetujuan dari parlemen, yang proses persiapan dan persetujuan anggaran tersebut akan mempengaruhi ketersediaan sumber pendanaan tambahan yang tersedia untuk waktu maupun bulan tertentu. Lebih lanjut, waktu penyaluran dana bantuan juga terpengaruh oleh adanya keterlambatan dalam proses penyiapan anggaran. Pembuatan peraturan untuk revisi anggaran dan evaluasi juga mempengaruhi fleksibilitas dari realokasi dana yang tersedia. Akibatnya, penggunaan dan penyaluran dana penanggulangan bencana menjadi terlambat karena proses politik dan birokrasi yang sering kali memakan waktu yang lama. Hal ini bertolak belakang sekali dengan kebutuhan pembiayaan penanggulangan bencana yang cepat dan mendesak.

Kerugian dan kerusakan akibat bencana dapat juga dibiayai atau ditransfer melalui mekanisme pasar swasta. Mekanisme pasar swasta bisa berperan secara strategis dalam pembiayaan penanggulangan bencana. Asuransi dan obligasi bencana merupakan dua contoh mekanisme atau alat utama pemanfaatan mekanisme pasar untuk pendanaan upaya penanggulangan dan pemulihan bencana. Penggunaan asuransi untuk kerusakan atau disrupsi kegiatan usaha sudah sejak lama digunakan oleh perusahaan dan rumah tangga dan pemanfaatan pasar reasuransi dapat membantu mentransfer risiko-risiko keuangan dan menurunkan berbagai biaya dalam berbagai keadaan, termasuk ketika bencana alam terjadi. Selain asuransi, obligasi bencana (catastrophe bonds) juga menjadi alternatif lain sumber pembiayaan bencana yang digunakan untuk mentransfer risiko keuangan dari perusahaan asuransi kepada para investor. Pemegang obligasi akan mendapatkan pokok investasinya ditambah premium ketika bencana alam tidak terjadi. mereka membeli obligasi bencana karena obligasi ini tidak berkorelasi dengan perekonomian, sehingga cocok untuk diversifikasi portofolio.

Di Indonesia, walaupun pemanfaatan obligasi bencana untuk pembiayaan penanggulangan bencana memang belum ada—akibat biaya pembuatan dan pengelolaannya yang mahal, penggunaan asuransi dan reasuransi dalam pembiayaan risiko bencana sebenarnya sudah ada dan berjalan. Tabel 1 memperlihatkan berbagai produk asuransi mikro terkait bencana alam yang telah ada dan pernah berjalan di Indonesia. Asuransi Perikanan bagi Pembudidaya Ikan Kecil (APPIK) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dari Kementerian Pertanian (Kementan) merupakan beberapa produk asuransi terkait bencana di Indonesia. Meski demikian, cakupan berbagai asuransi katastrofe tersebut saat ini masih sangat terbatas. Lebih lanjut, beberapa produk asuransi tersebut tidak berlanjut.

Selain program pemerintah dan mekanisme keuangan swasta, pembiayaan risiko bencana juga dapat dilakukan melalui inisiatif-inisiatif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga nonprofit, termasuk pendanaan yang berasal dari program tanggung jawab sosial (corporate social responsibility (CSR)) perusahaan-perusahaan swasta. Sumbangan atau donasi ini berperan penting dalam mengatasi masalah kebutuhan-kebutuhan setelah bencana—yang tidak atau belum dapat dipenuhi oleh pasar swasta atau anggaran pemerintah. Meskipun demikian, mekanisme pembiayaan ini seharusnya tidak diharapkan untuk dapat menggantikan peran lembaga-lembaga pemerintah yang berfungsi untuk melayani masyarakat melalui anggaran belanja negara ataupun tanggung jawab dari organisasiorganisasi di sektor swasta yang mendapatkan keuntungan dari masyarakat.

Ketergantungan mekanisme pendanaan ini terhadap kedermawanan pihak-pihak yang dapat memberikan bantuan juga membuatnya menjadi tidak pasti, sehingga tidak dapat secara penuh diandalkan dalam pembiayaan risiko bencana. Di Indonesia, khususnya, bantuan-bantuan bencana yang diberikan oleh berbagai pihak memang telah berlangsung ketika terjadi bencana di berbagai wilayah di tanah air. Namun demikian, sifatnya yang adhoc, besarannya yang kecil, cakupannya yang masih rendah, dan masih belum terintegrasi dengan baik menjadikan mekanisme pembiayaan ini masih sulit untuk berperan besar dalam membiayai risiko bencana.

Terakhir, ketika kerugian dan biaya bencana tidak dapat ditutupi atau ditanggung oleh mekanisme-mekanisme pembiayaan di atas, hal tersebut akan diserap oleh perekonomian. Kerugian ekonomi tersebut ditanggung oleh sebagian besar masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan. Bencana alam yang terjadi biasanya berdampak pada penurunan pendapatan nasional atau regional ataupun peningkatan harga-harga barang dan jasa (inflasi), sebagai akibat kerusakan infrastruktur yang meluas dan terhambatnya aktivitas ekonomi masyarakat. Di Indonesia, studi yang dilakukan oleh Yazid dan Asyahid4 , misalnya, menemukan bahwa secara umum terdapat efek negatif secara signifikan dari bencana alam ke perekonomian daerah—baik kabupaten maupun kota—dan sektor primer—yang tergantung pada sumber daya alam (SDA) seperti pertanian, perikanan, dan pertambangan—merupakan sektor ekonomi yang paling terdampak negatif akibat terjadinya bencana alam.

Dari berbagai mekanisme pembiayaan risiko bencana di atas, satu pelajaran penting yang telah dikemukakan dalam literatur di bidang ini adalah masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri, sehingga pendanaan penanggulangan bencana tidak dapat hanya tergantung pada satu cara saja. Schlegelmilch berpendapat bahwa tidak ada satu pun cara pembiayaan penanggulangan bencana yang seharusnya terlalu diandalkan dengan mengorbankan atau mengacuhkan cara lainnya. Selain itu, keberadaan sumber daya yang melimpah di satu sektor tidak juga berarti meniadakan kebutuhan atas penggunaan sumber daya di sektor lainnya, karena setiap bentuk atau cara pembiayaan penanggulangan bencana memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.5 Oleh karena itu, pemanfaatan sebanyak-banyaknya sumber pembiayaan menjadi perlu untuk memenuhi jumlah kebutuhan yang banyak dan beragam. Selain itu juga penting untuk diingat bahwa satu-satunya cara untuk mengurangi jumlah sumber daya yang dibutuhkan jika terjadi bencana adalah melalui peningkatan investasi untuk membangun kesiapan dan daya tahan sebelum bencana melanda, sehingga dapat menyelamatkan banyak orang dan mengurangi kerugian.

Sistem Pembiayaan Risiko Bencana

Mengingat bahwa pembiayaan risiko bencana tidak dapat bergantung pada hanya satu cara saja, diperlukan sebuah sistem pembiayaan risiko bencana yang integratif, efektif, efisien, dan berkelanjutan. Sistem ini memungkinkan adanya keterlibatan lembaga-lembaga usaha swasta dan masyarakat umum dalam aktivitas-aktivitas manajemen dan pembiayaan risiko bencana. Sistem ini juga diharapkan dapat mengurangi besarnya ketergantungan pembiayaan risiko bencana terhadap anggaran belanja negara. Hingga saat ini, peran dan keterlibatan lembaga usaha dan masyarakat dalam manajemen penanggulangan risiko bencana masih sangat terbatas dan belum terintegrasi dengan baik. Dari sisi lembaga usaha, penanganan risiko bencana biasanya dilakukan oleh masing-masing perusahaan, tergantung manajemen risiko perusahaan yang bersangkutan. Biasanya perusahaan, terutama perusahaan menengah dan besar, mengasuransikan aset-aset yang dimilikinya melalui membeli premi asuransi katastrofe (catasthrope insurance) yang disediakan oleh perusahaan asuransi swasta. Sementara itu, perusahaan kecil seperti UMKM dan masyarakat umum jarang sekali memiliki asuransi untuk perlindungan aset dan usahanya dari risiko bencana. Hanya sedikit sekali UMKM dan masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan, di Indonesia yang memiliki asuransi perlindungan bencana (asuransi katastrofe).

Dalam konteks di atas, Indonesia perlu untuk membangun sebuah sistem pembiayaan risiko bencana yang dapat melindungi seluruh penduduk, khususnya mereka yang rentan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh berbagai bencana alam yang kerap kali terjadi di negara ini. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memikirkan kerangka kerja yang cocok untuk konteks lokal Indonesia. Tanpa kerangka kerja yang jelas, tampaknya sulit untuk mengimplementasikan strategi baru. Pemerintah idealnya memiliki peran untuk menentukan lingkup bisnis, spesifikasi prioritas, menetapkan target, dan menentukan standar mengenai pengelolaan pembiayaan manajemen risiko bencana, yang dapat mengakomodasi peran serta aktif perusahaan swasta dan masyarakat umum dalam format kerja sama pemerintah dan swasta (public-private partnerships).

Pembentukan sistem pembiayaan manajemen risiko bencana dalam format PPP ini didorong atas keinginan untuk mengoptimalkan kualitas pelayanan publik serta pengelolaan risiko bencana yang lebih integratif dan inovatif, baik secara layanan maupun keuangan. Pada kemitraan PPP antara pemerintah dan swasta, pemerintah umumnya bertugas menyediakan fasilitas umum dan kesadaran (awareness) kepada masyarakat. Sedangkan, sektor swasta dapat menyediakan sumber-sumber operasional, keuangan, maupun tenaga ahli. PPP ini dapat berbentuk organisasi (formal, informal, atau kombinasi) yang akan saling berbagi keuntungan dan risiko. Hasil yang diharapkan di antaranya adalah peningkatan pengelolaan risiko bencana, mempercepat pertumbuhan ekonomi, hingga peningkatan kualitas infrastruktur sosial yang lebih berkelanjutan.

Gambar 1 memperlihatkan skema sistem manajemen Dana Bencana Alam Indonesia (Indonesia Natural Disaster Management Fund (INDMF)). Sistem INDMF ini mengadopsi sistem manajemen risiko bencana yang telah dimiliki oleh Meksiko dalam mengembangkan FONDEN6 dan memodifikasinya dengan apa yang telah dijalankan dan dimiliki oleh Indonesia selama ini. Pada sistem tersebut, penggunaan dana bencana melibatkan pemanfaatan dana untuk program kesiapsiagaan bencana (ex-ante) dan program tanggap bencana (ex-post). Model dana tanggap bencana saat ini (kotak merah muda) didominasi dengan dana tanggap darurat serta dana rekonstruksi dan pemulihan. Sedangkan, dana kesiapsiagaan bencana (disaster preparedness) belum terakomodasi oleh anggaran pemerintah. Pada saat yang bersamaan, insentif-insentif fiskal yang tersedia juga belum didesain untuk mendorong ke arah kesiapsiagaan bencana.

Pengembangan atau improvisasi model kesiapsiagaan ditandai dengan kotak berwarna ungu. Pada dasarnya, dana kesiapsiagaan bencana merupakan fraksi dari alokasi anggaran tahunan bencana ditambah bantuan dana bencana yang berasal dari pooling fund. Besaran persentasenya dapat disesuaikan dengan rencana strategis nasional dan rencana program kesiapsiagaan bencana. Selanjutnya, dana kesiapsiagaan bencana akan masuk ke rekening khusus kesiapsiagaan—berbeda dari rekening bencana umum atau kerap dikenal sebagai “Rekening 99”. Dana bencana dari rekening kesiapsiagaan selanjutnya akan ditransfer ke sub-rekening proyek sesuai pengajuan kementerian/lembaga negara (K/L) maupun pemerintah daerah yang telah dikonfirmasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai koordinator rencana strategis proyek kesiapsiagaan bencana.

Sementara itu, pooling fund merupakan dana himpunan yang tujuannya khusus untuk proyek atau kegiatan yang terkait dengan kebencanaan. Mekanisme pooling fund seperti ini, sebelumnya sudah diterapkan dalam sektor lingkungan, yaitu pada Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, atau dalam sektor pendidikan yaitu pada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2019 tentang Dana Abadi Pendidikan. Pooling fund di bidang kebencanaan seharusnya berperan sebagai dana abadi yang dapat bergulir, sehingga dananya bersifat stabil dan dapat digunakan kapan saja. Dana ini dapat dihimpun dari berbagai sumber, di antaranya alokasi dan realokasi APBN dan APBD, pinjaman dan hibah luar negeri, CSR, iuran masyarakat, sisa dana kebencanaan, hingga sanksi dan disinsentif perusahaan yang tidak memenuhi standar kesiapsiagaan bencana.

Gambar 1. Manajemen Dana Bencana Alam Indonesia (Indonesia Natural Disaster Management Fund (INDMF))

Sumber: DMRU-CSIS (2020)

Kotak yang berwarna biru secara umum adalah ruang tempat skema PPP dapat dijalankan terkait dengan manajemen risiko bencana, mulai dari pra-bencana hingga pascabencana. Keterlibatan dan kontribusi lembaga swasta dan masyarakat dapat dilakukan melalui penyediaan pooling fund, atau dalam bentuk lainnya. Asuransi adalah salah satu bentuk keterlibatan lembaga swasta. Di sini, mitra asuransi bisa berasal dari konsorsium asuransi yang ditunjuk pemerintah. Bentuk keterlibatan lembaga swasta dan masyarakat lainnya dapat berupa sebagai penyedia jasa dan pelaksana pekerjaan atau kegiatan, baik itu terkait dengan kesiapsiagaan bencana (ex-ante)—seperti dalam bentuk pemberdayaan masyarakat dan kegiatan pelatihan dan sosialisasi pencegahan, mitigasi dan kesiagaan bencana, serta peningkatan kapasitas—ataupun terkait dengan aktivitas tanggap bencana, yang termasuk di dalamnya adalah penyelamatan, pemulihan, rekonstruksi dan rehabilitasi, seperti dalam bentuk penyediaan bantuan pengobatan, makanan, dan pembangunan kembali infrastruktur fisik, pemukiman dan ekonomi wilayah yang terdampak bencana. Berbagai aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) ataupun lembaga-lembaga usaha swasta, baik itu melalui CSR ataupun secara komersial.

Potensi Asuransi Pembiayaan Bencana untuk Rumah Tinggal

Sejak lama asuransi dan mekanisme transfer risiko yang lain telah digunakan untuk mengelola risiko yang terlalu besar untuk ditanggung oleh perorangan atau perusahaan secara sendiri. Caranya adalah dengan mentransfer sebagian tekanan risiko kepada pihak ketiga yang memiliki kondisi basis keuangan yang lebih stabil, yang kemudian dipertukarkan dengan premi asuransi. Asuransi secara historis telah terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi dan kewirausahaan serta pengurangan risiko. Cara-cara transfer risiko, seperti yang dilakukan oleh asuransi ini, memiliki potensi yang baik untuk digunakan oleh negara berkembang, seperti Indonesia dalam mengelola risiko-risiko bencana alam—yang kerap kali terjadi di negara ini. Asuransi risiko bencana dapat membantu Indonesia untuk menjamin bahwa penduduknya terlindungi secara keuangan dan mengurangi risiko fiskal dan volatilitas anggaran ketika sebuah bencana terjadi.

Secara teoritis, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kausky, asuransi telah memainkan peranan yang sangat penting dalam meningkatkan daya tahan dalam menghadapi bencana. Asuransi dapat menyediakan perlindungan keuangan untuk pengasuransian dan pencegahan dampak negatif kesulitan ekonomi setelah bencana. Asuransi dapat mempercepat proses pembangunan dan pemulihan kembali dengan menyediakan pendanaan pascabencana dan likuiditas, segera setelah bencana terjadi. Selain itu, asuransi juga dapat membantu mendorong usaha-usaha pengurangan risiko sebelum bencana terjadi (pra-bencana) melalui insentif-insetif keuangan atau setelah bencana terjadi (pascabencana) melalui tambahan pendanaan untuk mitigasi bencana, yang digabungkan dalam usaha-usaha pembangunan kembali pascabencana. Secara singkat, asuransi dapat meningkatkan peluang pembangunan kembali, mengurangi kesulitan keuangan pascabencana, dan mempercepat waktu pemulihan pascabencana.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, asuransi dimasukkan sebagai salah satu komponen penting dalam skema sistem makro pembiayaan manajemen risiko bencana di Indonesia— yang coba ditawarkan dalam tulisan ini dan telah diuraikan di atas. Dalam sistem manajemen dana bencana alam Indonesia di atas, perusahaan asuransi tidak hanya berperan sebagai penyedia produk asuransi, penerima premi dan pembayar klaim masyarakat jika terjadi bencana. Lebih dari itu, mereka bekerja sama dengan pemerintah. Perusahaan-perusahaan asuransi ini turut serta dalam membantu mengumpulkan pendanaan dari masyarakat, mengelola risiko dan dana bergulir (pooling fund), serta berkontribusi pada pembiayaan usaha-usaha pengurangan risiko sebelum bencana alam itu terjadi.

Pada tingkat yang lebih mikro, salah satu asuransi yang berpotensi dapat dikembangkan untuk pembiayaan risiko bencana dalam sistem di atas adalah asuransi perlindungan rumah tinggal. Gambar 2 menjelaskan tentang skema alur bisnis Asuransi Bencana Masyarakat Indonesia (ABMI) yang diusulkan oleh Dalimunthe (2020) dari Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) dan saat ini juga tengah dikaji dan dirancang oleh Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan (BKF-Kemenkeu). Dalam skema asuransi ini, ABMI memanfaatkan mekanisme pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta mekanisme Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk mendorong masyarakat berasuransi dan membayar iuran bencana (arisan bencana) untuk menjadi sumber pemasukan bagi pemerintah dalam bentuk pooling fund untuk pembiayaan pemulihan bencana yang terintegrasi, termasuk pembangunan rumah-rumah warga yang terdampak bencana.

Pemanfaatan mekanisme pembayaran PBB dalam asuransi ini memiliki beberapa keuntungan. Pertama, dengan memanfaatkan PBB yang datanya tersedia berdasarkan nilai bangunan, maka akan memudahkan perusahaan asuransi (BUMN ataupun swasta) untuk menghitung premi dan tanggungan yang akan dibayarkan. Kedua, pemanfaatan PBB masyarakat bisa diarahkan untuk lebih cepat membayar pajak karena mereka bisa mendapatkan tambahan insentif asuransi dari pajak yang mereka bayarkan. Misalnya, jika masyarakat lebih cepat bayar pajak, maka mereka bisa mendapat penggantian kerugian dengan persentase yang semakin tinggi, apabila ada bencana. Adapun jika ada keterlambatan dalam pembayaran, maka penggantiannya akan dikurangi.

Gambar 2. Rancangan Skema Alur Bisnis Pendaftaran dan Pengajuan Klaim ABMI

Sumber: Dalimuthe (2020) & BKF, Kementerian Keuangan (2021)

Dalam pelaksanaannya, skema ini melibatkan banyak pihak, baik dari unsur lembaga pemerintah ataupun swasta. Pada tahap awal, perwakilan pemerintah melakukan sosialisasi taat pajak dengan jaminan proteksi asuransi untuk yang membayar lebih awal kepada ketuaketua RT/RW atau setingkat, yang nantinya melakukan sosialisasi langsung ke keluarga pemilik rumah atau bangunan. Dengan memanfaatkan aplikasi mobile, keluarga tangguh bencana yang dibuat oleh penyedia jasa pembuat aplikasi dan cabang-cabang toko ritel (misal: Indomaret dan Alfamart) yang ada di lingkungan terdekatnya atau memanfaatkan marketplace yang ada (misal: Tokopedia dan Bukalapak), warga bisa melakukan pembayaran PBB sekaligus pembelian polis dan premi asuransi.

Melalui aplikasi tersebut, warga juga bisa mendapatkan informasi tentang risiko dan daerahdaerah rawan bencana yang ada di sekitarnya—yang datanya disediakan oleh inaRisk yang dikembangkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Sementara, nilai pembayaran PBB dan premi asuransi beserta data peserta ABMI dan nilai jual obyek pajak (NJOP) diperoleh dari Dirjen Pajak setempat, yang selanjutnya oleh toko ritel atau marketplace dibayarkan kepada konsorsium atau perusahaan asuransi untuk ditukar dengan polis dan sertifikat asuransi. Toko ritel atau marketplace ini juga bisa berperan sebagai penyaluran dana, jika terjadi klaim kerugian dari peserta ABMI.

Gambar 3. Sebaran Indeks Risiko Bencana Indonesia dan Besaran Pengeluaran Rumah Tangga per Bulan untuk Pajak dan Asuransi (menurut provinsi, 2019)

Sumber: IRBI-BNPB (2019) dan Susenas-BPS (2019), diolah oleh penulis

ABMI untuk rumah tinggal ini memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat diterapkan di Indonesia, mengingat tingginya risiko bencana di seluruh provinsi dan masih rendahnya tingkat pengeluaran rumah tangga untuk asuransi. Gambar 3 memperlihatkan sebaran indeks risiko bencana Indonesia dan besaran pengeluaran rumah tangga per bulan untuk pajak—khususnya PBB—dan asuransi kesehatan dan jiwa, menurut provinsi pada tahun 2019. Sumbu vertikal (y) memperlihatkan tingkat indeks risiko bencana, yang semakin ke atas berarti semakin tinggi tingkat risiko bencana di provinsi tersebut, sementara sumbu horizontal (x) menunjukkan rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dan pengeluaran asuransi, semakin ke kanan nilainya semakin tinggi. Garis tengah sumbu x berada pada nilai median pengeluaran PBB dan asuransi, sementara untuk sumbu y berada pada nilai threshold indeks risiko bencana, antara risiko sedang dan tinggi.

Pada gambar tersebut, terlihat bahwa tingkat indeks risiko bencana berkisar antara 66 hingga 170. Sebagian besar provinsi memiliki indeks risiko bencana di atas 140, kecuali DKI Jakarta (66), dan ini berarti hampir seluruh provinsi di Indonesia tergolong berisiko sedang dan tinggi. Rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk PBB dan asuransi berkisar antara Rp80.000/bulan hingga Rp260.000/bulan (Rp960.000/tahun hingga Rp3,12 juta/tahun) untuk seluruh rumah tangga yang memiliki pengeluaran tersebut. Sementara, titik atau dot menunjukkan rata-rata provinsi untuk persentase relatif pengeluaran pajak dan asuransi, yakni sekitar 1,89% hingga 3,67% dari total pengeluaran rumah tangga.

Berdasarkan gambaran di atas, dapat juga dilihat bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia memiliki tingkat risiko bencana yang besar dan masih terdapat ruang yang besar untuk menambah pengeluaran asuransi yang dimasukkan dalam iuran PBB—karena proporsinya dalam total keseluruhan pengeluaran rumah tangga masih relatif rendah, dengan proporsi tertinggi hanya mencapai 3,67% saja. Jika porsi pengeluaran PBB dan asuransi ditingkatkan menjadi 5% saja, jumlah pengeluaran ini bisa meningkat menjadi Rp211.000 sampai Rp354.000 per bulan atau masih tersedia ruang peningkatan sebesar Rp94.000 hingga Rp131.000 per bulan untuk tambahan asuransi bencana rumah tinggal.

Selanjutnya, gambar tersebut juga membagi sebaran tiap provinsi ke dalam empat kuadran. Kuadran 1 (kanan atas) menunjukkan provinsi-provinsi dengan tingkat risiko bencana yang tinggi dan nilai pengeluaran PBB dan asuransi yang juga relatif besar, sementara kuadran 2 (kiri atas) terdiri dari provinsi-provinsi yang memiliki risiko bencana tinggi, tetapi pengeluaran PBB dan asuransinya masih relatif rendah. Kuadran 3 (kiri bawah) berisi provinsi-provinsi dengan tingkat risiko bencana dan nilai pengeluaran PBB dan asuransi yang relatif lebih rendah, sedangkan kuadran 4 (kanan bawah) terdiri dari provinsi-provinsi dengan tingkat risiko bencana yang relatif lebih rendah dan nilai pengeluaran PBB dan asuransi yang relatif telah besar.

Berdasarkan gambar tersebut, perhatian khusus dan mendesak dapat diberikan kepada provinsi-provinsi yang berada di kuadran kedua (kiri atas), yaitu provinsi yang memiliki tingkat risiko tinggi, tetapi nilai pengeluaran untuk pajak dan asuransinya masih rendah— baik itu dari besar nilai nominalnya tapi juga proporsinya dalam total pengeluaran rumah tangga. Beberapa provinsi tersebut, antara lain adalah Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Maluku, Pada provinsi-provinsi tersebut, penerapan asuransi bencana masyarakat Indonesia untuk perlindungan rumah tinggal dapat didahulukan penerapannya, karena tingginya tingkat risiko dan masih banyaknya ruang yang besar untuk tambahan pengeluaran untuk asuransi.

Penutup: Tantangan dan Langkah Selanjutnya

Tingkat risiko bencana yang tinggi dan kemampuan fiskal yang terbatas menuntut Indonesia untuk memiliki sebuah sistem pembiayaan dan asuransi bencana yang dapat melindungi seluruh penduduk, khususnya mereka yang rentan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan ketika bencana alam terjadi. Sistem ini seharusnya bersifat integratif, efektif, efisien, dan berkelanjutan agar dapat memungkinkan adanya keterlibatan lembaga-lembaga usaha swasta dan masyarakat umum dalam aktivitas-aktivitas manajemen dan pembiayaan risiko bencana. Untuk itu, tulisan ini menawarkan sebuah skema sistem manajemen Dana Bencana Alam Indonesia (Indonesia Natural Disaster Management Fund (INDMF)). Sistem pembiayaan ini menekankan pada pooling fund (dana bergulir) yang dapat dihimpun dari berbagai sumber, di antaranya alokasi dan realokasi APBN dan APBD, pinjaman dan hibah luar negeri, CSR, iuran asuransi masyarakat, sisa dana kebencanaan, hingga sanksi dan disinsentif perusahaan yang tidak memenuhi standar kesiapsiagaan bencana. Penggunaan pendanaan tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk pembiayaan program-program tanggap bencana, rekonstruksi dan pemulihan pascabencana, tetapi juga aktivitas-aktivitas kesiapsiagaan sebelum bencana terjadi.

Pada tingkat mikro, salah satu mekanisme yang paling potensial untuk implementasi dari sistem tersebut dapat berbentuk ABMI. Asuransi ini adalah asuransi perlindungan rumah tinggal penduduk yang pengelolaannya diintegrasikan ke dalam sistem pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB). Mekanisme penggabungan asuransi dan PBB ini dimungkinkan untuk dikembangkan karena sebagian besar provinsi di Indonesia memiliki tingkat risiko bencana yang tinggi dan masih rendahnya pengeluaran rumah tangga untuk PBB dan asuransi, baik dari sisi nilai nominalnya ataupun dari proporsinya dalam total belanja rumah tangga di negara ini. Berdasarkan tingkat risiko bencana dan tingkat besaran pengeluaran PBB dan asuransinya, Lampung, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Maluku merupakan provinsi-provinsi yang sangat potensial untuk memulai pelaksanaan asuransi ini.

Meskipun demikian, terdapat beberapa tantangan dan kendala yang perlu diatasi untuk merealisasikan sistem pembiayaan dan pengasuransian bencana Indonesia ini, khususnya yang terkait langsung dengan asuransi bencana masyarakat Indonesia.

Pertama, masih rendahnya pengetahuan dan kesadaran sebagian besar masyarakat akan pentingnya asuransi, termasuk asuransi bencana. Hal ini diakibatkan oleh tingkat literasi keuangan yang rendah, sikap pasrah. nilai agama, ataupun karena adanya beberapa kasus buruk tentang pengelolaan asuransi, seperti yang terjadi pada kasus Asabri dan Jiwasraya. Kedua, tingkat penghasilan masyarakat yang masih rendah. Ketiga, masih belum dalamnya pasar keuangan Indonesia (shallow market). Keempat, kurang adanya kemauan politik (political-will)—baik pemerintah pusat dan daerah—dan perhatian terhadap manajemen pembiayaan dan asuransi bencana, sebagaimana terlihat dari ketiadaan payung hukum yang mendukung dan rendahnya alokasi anggaran untuk aktivitas-aktivitas pencegahan dan penanggulangan bencana. Terkait poin terakhir ini, upaya pembangunan sistem pembiayaan dan asuransi risiko bencana dapat dimulai dengan pembuatan aturan perundang-undangan yang menjamin dan memfasilitasi pembentukan sistem tersebut.