DPR bersama Pemerintah kembali melanjutkan pembahasan Rancangan Kitab Undangundang Hukum Pidana (RKUHP) yang pada tahun 2019 sempat terhenti setelah mengalami penolakan. Kelanjutan pembahasan RKUHP dilakukan dengan fokus perubahan formula 14 poin isu krusial yang menjadi perdebatan. DPR dan Pemerintah sepakat untuk tidak membahas ulang substansi di luar 14 pasal kontroversial tersebut, yang meliputi hukum yang hidup (the living law), pidana mati, pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, pidana kepemilikan kekuatan gaib, pidana dokter dan dokter gigi tanpa izin, pidana pembiaran unggas dan hewan ternak, pidana penghinaan terhadap pengadilan, pidana advokat curang, pidana penodaan agama, penganiayaan hewan, pidana penggelandangan, pidana terkait aborsi, pidana perzinaan dan kumpul kebo (kohabitasi), dan pidana perkosaan dalam perkawinan. Selain 14 pasal tersebut sebenarnya masih ada pasal-pasal lain yang juga dinilai kontroversial dan sebelumnya telah ditolak oleh masyarakat. Namun, DPR dan Pemerintah saat ini hanya akan berfokus pada perlindungan hak-hak warganegara yang ruang privatnya terlalu banyak dicampuri oleh negara, dan sama sekali tidak membahas isu-isu terkait sektor privat dunia usaha. Padahal, ada sejumlah pasal yang terlalu jauh masuk mencampuri urusan sektor privat dunia usaha, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu iklim berusaha di Indonesia. Masalah ini tidak hanya akan berimplikasi pada dunia usaha saja, tapi juga perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pasal-pasal tersebut berpotensi menciptakan “overkriminalisasi” terhadap korporasi, yang dapat mengganggu iklim usaha dan investasi di Indonesia, dan selanjutnya dapat menurunkan daya saing perekonomian secara keseluruhan.