Sejak COVID-19 diumumkan sebagai pandemi global oleh Direktur Jenderal World Health Organization(WHO) 11 Maret lalu, tingkat kekhawatiran akan perekonomian dunia semakin meningkat. Hal ini seiring dengan pesimisme yang disampaikan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) bahwa COVID-19 akan membuat perekonomian dunia hilang + US$ 1 triliun dan pertumbuhan ekonomi dunia di bawah 2%, jauh di bawah prediksi sebelumnya yang mencapai 2,5% (World Bank, Januari 2020). Selain gangguan supply chain dari- dan ke- China, kebijakan lockdown dan semi lockdown beragam negara, maupun ketidakpastian yang diakibatkan harga minyak memperparah kondisi yang ada.Tanda-tanda akan resesi mulai terlihat dengan memudarnya tingkat kepercayaan pasar terhadap prospek bisnis yang ada. Per tanggal 16 Maret 2020, Bloomberg melaporkan indeks Dow Jones turun 19%, sedangkan indeks Nikkei turun 27%, dan Financial Times Stock Exchange (FTSE) -33%. Sektor industri paling terdampak adalah industri penerbangan, di mana International Air Transport Association(IATA) memprediksi COVID-19 menghilangkan pendapatan sebesar US$113 miliar dikarenakan sedikitnya orang yang bepergian, baik domestik maupun antar negara. Hal ini tentunya berdampak pada industri ikutannya, seperti turisme, hotel, restoran, taksi dan lain sebagainya. International Civil Aviation Organization (ICAO) memprediksi bahwa Jepang akan kehilangan US$1,29 miliar dari wisatawan China, sedangkan Thailand akan kehilangan US$1,15 miliar.