Kisruh permasalahan subsidi energi telah terjadi berulang-ulang selama puluhan tahun sepanjang sejarah perekonomian Indonesia. Meminjam pendapat ekonom and sejarawan senior, Anne Booth (1998), negara ini secara menyedihkan berulangkali kehilangan kesempatan untuk menyelesaikan permasalahan subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM), sejak tahun 1980an. Kekisruhan kerap kali terjadi ketika ada tren kenaiakn harga minyak internasional yang menyebabkan peningkatan subsidi BBM. Namun demikian, pemerintah selalu saja gagal untuk secara tuntas menemukan solusi terbaik.

 

Beberapa waktu yang lalu, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan akan memperketat pengawasan subsidi BBM mulai 17 Agustus 2024. Tetapi, rencana ini tidak jadi dilakukan karena menimbulkan polemik di masyarakat dan diganti menjadi program sosialisasi untuk penyaluran subsidi BBM tepat sasaran pada 1 September 2024. Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akibat tren peningkatan harga minyak dunia dan penurunan nilai tukar rupiah saat ini. Penggunaan BBM bersubsidi yang cenderung meningkat dikhawatirkan akan membebani APBN dan mengakibatkan membengkaknya defisit APBN. Selain itu, pemerintah juga berencana mendorong alternatif pengganti BBM melalui bioethanol yang dianggap mampu mengurangi kadar polusi udara.

 

Maju-mundurnya rencana pengetatan subsidi ini sekali lagi memperlihatkan sikap pemerintah yang tidak ingin benar-benar secara serius menyelesaikan permasalahan subsidi energi yang sejak lama telah membebani perekonomian Indonesia. Meminjam pendapat yang pernah dikemukakan oleh Howard Dick (2013), pemerintah sekali lagi tekesan lebih mementingkan popularismenya dengan enggan memilih kebijakan yang dapat menimbulkan kesulitan politik jangka pendek dan tidak memperhatikan kerugian yang diakibatkan oleh kesempatan yang hilang (opportunity cost) untuk menghentikan subsidi BBM ini secara tuntas. Pemerintah juga terkesan hanya sekedar basa-basi dalam hal perhatian terhadap masalah lingkungan, seperti polusi dan perubahan iklim.

 

Pemerintah seharusnya lebih fokus pada langkah-langkah kebijakan penghentian subsidi BBM dan LPG daripada hanya memperketat atau menargetkan penyalurannya. Penargetan subsidi BBM dan LPG diperkirakan hanya akan kembali gagal dan membuang kesempatan untuk menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Pengetatan atau penargetan penyaluran subsidi BBM dan LPG ini diperkirakan malah akan kembali menyuburkan praktek arbitrase (arbitrage), pemburuan rente (rent seeking activities), dan gagal mendorong penggunaan energi alternatif yang ramah lingkungan.